Rabu, 07 Oktober 2015

KAHYANGAN PARA DEWA

SURALAYA

1. BATARA GURU-MANIKMAYA

SANGHYANG MANIKMAYA adalah putra ketiga Sanghyang Tunggal dengan Dewi Wirandi/Rekatawati, putri Prabu Yuyut/Resi Rekatama, raja Samodralaya. Ia mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ; Sanghyang Tejamaya/Antaga dan Sanghyang Ismaya. Sanghyang Manikmaya juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu putra Dewi Darmani, putri Sanghyang Darmayaka dari Selong, masing-masing bernama ; Sanghyang Rudra/Dewa Esa, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti.

Sanghyang Manikmaya mempunyai 27 nama gelar, tapi yang dikenal diantaranya ; Sanghyang Jagadnata, Sanghyang Jagadpratingkah, Sanghyang
Pramesti Guru, Sanghyang Siwa dan Sanghyang Girinata. Sanghyang Manikmaya adalah seorang tokoh yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam dunia pewayangan.

Ia menguasai tiga benua yaitu; Mayapada (dunia Kadewatan), Madyapada (dunia makluk halus) dan Arcapada (dunia Fana/ dunia manusia di bumi).Sanghyang Manikmaya bersemayam di Kahyangan Jonggrisaloka. Ia mempunyai dua orang permaisuri, keduanya putri Umaran, hartawan di Merut dengan Dewi Nurweni, putri Prabu Nurangin, raja jin di Kalingga. Permaisuri I, Dewi Umayi berputra enam orang msing - masing bernama : Batahra Sambo, Bathara Brahma, Bathara Indra, Batahra Bayu, Bathara Wisnu dan Bathara Kala. Permaisuri II bernama Dewi Umarakti/Umaranti, berputra tiga orang masing-masing bernama ; Bathara Cakra, Bathara Mahadewa dan Bathara Asmara.

Sanghyang Manikmaya mempunyai pusaka sakti bernama Cis Kalaminta dan senjata Trisula. Ia juga memiliki aji kesaktian bernama : Aji Kawrastawan (kewaspadaan), Aji Pangambaran (pemberantasan) dan Aji Kemayan yang dapat beralih rupa sesuai dengan kehendaknya.

2. BATARA WISNU

SANGHYANG WISNU adalah Dewa keadilan atau kesejahteraan. Badannya berkulit hitam sebagai lambang keabadian. Ia mempunyai kendaraan berwujud garuda bernama Garuda Briawan, mempunyai pusaka bernama Kembang Wijayakusuma danCangkok Wijayamulya. Bila bertiwikrama, Sanghyang Wisnu mempunyai prabawa yang sangat dahsyat dan berganti rupa menjadi Brahalasewu
Sanghyang Wisnu adalah putra kelima Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan Dewi Umayi. Ia mempunyai lima saudara kandung masing-masing bernama; Sanghyang Sambo, Sanghyang Brahma, Sanghyang Indra, Sanghyang Bayu dan Bhatara Kala. Sanghyang Wisnu juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, putra Dewi Umarakti, yaitu ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Sanghyang Wisnu bersemayam di Kahyangan Untarasegara. Mempunyai 3 orang permaisuri dan 18 orang putra (14 pria dan 4 wanita). Dengan Dewi Sri Widowati/Srisekar, Sanghyang Wisnu berputra ; Bathara Srigata, Bathara Srinada dan Bathari Srinadi. Dari Dewi Pratiwi berputra ; Bambang Sitija dan Dewi Siti Sundari. Sedangkan dengan Dewi Sri Pujawati berputra 13 orang masing-masing bernama ; Bathara Heruwiyana, Bathara Ishawa, Bathara Bhisawa, Bathara Isnawa, Bathara Isnapura, Bathara Madura, Bathara Madudewa, Bathara Madusadana, Dewi Srihuna, Dewi Srihuni, Bathara Pujarta, Bathara Panwaboja danBathara Sarwedi/Hardanari.

Untuk membasmi angkara murka, Sanghyang Wisnu pernah menjelma/menitis menjadi ; Matswa (ikan) untuk membunuh raksasa Hargragiwa yang mencuri Kitab Weda. Menjadi Narasingha (orang berkepala hariamau) untuk membinasakan Prabu Hiranyakasipu, berupa Wimana (orang kerdil) untuk mengalahkan Ditya Bali. Sanghyang Wisnu juga menitis pada Ramaparasu untuk menumpas para gandarwa, menitis pada Arjunasasra/Arjunawijaya untuk mengalahkan Prabu Dasamuka. menitis pada Ramawijaya untuk membinasakan Prabu Dasamuka, dan terakhir menitis pada Prabu Kresna untuk menjadi parampara/penasehat agung para Pandawa guna melenyapkan keserakahan dan kejahatan yang dilakukan oleh para Kurawa.

Sanghyang Wisnu juga pernah turun ke Arcapada menjadi raja negara Medangpura bergelara Maharaja Suman untuk menaklukan Maharaja Balya, raja negara Medanggora penjelmaan Bathara Kala. Menjadi raja di negara Medangkamulan bergelar Prabu Satmata, untuk menaklukan Prabu Watugunung yang bertindak keliru dan nyasar mengawini ibunya sendiri.

3. BATARA BRAHMA

SANGHYANG BRAHMA atau Brama adalah putra kedua Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan permaisuri pertama Dewi Umayi.

Ia mempunyai lima orang saudara kandung masing - masing bernama ; Sanghyang Sambo, Sanghyang Indra, Sanghyang Bayu, Sanghyang Wisnu dan Bathara Kala. Sanghyang Brahma juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, yaitu putra Dewi Umarakti, masing-masing bernama ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Sanghyang Brahma bersemayam di Kahyangan Daksinageni. Ia mempunyai tiga orang permaisuri dan dua puluh satu putra, 14 pria dan 7 wanita. Dari permaisuri Dewi Saci berputra dua orang bernama ; Bathara Maricibana dan Bathara Naradabrama. Dengan Dewi Sarasyati mempunyai lima orang putra bernama; Bathara Brahmanasa, Bathara Bramasadewa, Bathara Bramanasadara, Bathara Bramanarakanda dan Bathara Bramanaresi. Sedangkan dengan Dewi Rarasyati/Raraswati mempunyai empat belas orang putra dan putri, masing-masing bernama ; Dewi Bramani, Dewi Bramanistri, Bathara Bramaniskala, Bathara Bramanawara, Dewi Bramanasita, Dewi Bramaniyati, Dewi Bramaniyodi, Bathara Bramanayana, Bathara Bramaniyata, Bathara Bramanasatama, Dewi Bramanayekti, Dewi Bramaniyuta, Dewi Dresanala dan Dewi Dresawati.

Sanghyang Brahma adalah Dewa Api, maka bila bertikikrama ia dapat mengeluarkan prabawa api. Ia seorang panglima perang yang ulung, dan berkedudukan sebagai senapati angkatan perang Suralaya/Kadewatan. Sanghyang Brahma pernah turun ke Arcapada, menjadi raja di negara Medanggili bergelar Maharaja Sunda/Rajapati

4. BATARA SURYA

BATHARA SURYA adalah Dewa Matahari yang bertugas menerangi Arcapada, memberi perkembangan hidup dan kesehatan kepada semua makhluk yang terjadi disiang hari. Bathara Surya adalah putra keenam Sanghyang Ismaya dengan Dewi Senggani. Ia mempunyai sembilan orang saudara kandung, masing-masing bernama; Bathara Wungkuam, Bathara Tambora, Bathara Wrahaspati, Bathara Siwah, Bathara Kuwera, Bathara Candra, Bathara Yama/Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Dewi Darmanasti.

Bathara Surya mempunyai tempat tinggal di Kahyangan Ekacakra. Ia mempunyai tiga orang permaisuri yaitu; kakak beradik Dewi Ngruna dan Dewi Ngruni, serta Dewi Prati/Dewi Haruni, putri Hyang Ramaparwa, putra Sanghyang Wening. Dengan Dewi Ngruna, Bathara Surya berputra Resi Suwarna yang kemudian menurunkan bangsa Garuda. Dengan Dewi Ngruni berputra ; Dewi Suryawati yang kemudian diperistri oleh Gatotkaca, dan Bathara Suryanirada. Sedangkan dengan Dewi Prati, Bathara Surya berputra Bathara Rawiatmaja yang kemudian menurunkan raja-raja Maespati, trah pertapaan Argasekar, trah pertapaan Grastina/keturunan Resi Gotama dengan Dewi Indradi.

Secara tidak resmi, Bathara Surya juga mengawini Dewi Kunti dan berputra Suryatmaja/Adipati Karna. Bathara Surya juga memberikan Cupu Manik Astagina kepada Dewi Indradi yang mengakibatkan ketiga putra Dewi Indradi, yaitu ; Dewi Anjani, Subali dan Sugriwa berubah wujud menjadi kera.

Bathara Surya mempunyai kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda dan pernah dipinjam Batahra Wisnu untuk memusnahkan Prabu Watugunung, raja Gilingwesi. Bathara Surya pula yang mengetahui tatkala Ditya Kalarahu mencuri Tirta Amerta, hingga persembunyiannya dapat diketahui dan dapat dibinasakan oleh Bathara Wisnu.

5. BATARA KAMAJAYA

BATHARA KAMAJAYA mempunyai wajah sangat tampan. Ia merupakan makhluk yang berwajah paling tampan di Tribuana (jagad Mayapada, Madyapada dan Arcapada).

Bersama isterinya, Dewi Ratih/Kamaratih, putri Bathara Soma, kedua suami-istri tersebur merupakan lambang kerukunan suami-istri di jagad raya. Mereka terkenal sangat rukun, tidak pernah berselisih, sangat setia satu sama lain dan cinta mencintai.

Bathara Kamajaya adalah putra kesembilan dari kesepuluh orang saudara kandung putra Bathara Ismaya dengan Dewi Senggani. Kesembilan orang saudaranya masing-masing bernama; Bathara Wungkuam, Bathara Tambora, Bathara Wrahaspati, Bathara Siwah, Bathara Kuwera, Bathara Candra, Bathara Yama/Yamadipati, Bathara Surya dan Dewi Darmanesti.

Bathara Kamajaya bertempat tinggal di Kahyangan Cakrakembang.

Ia memiliki senjata pamungkas berupa panah sakti bernama Kyai Pancawisaya. Bathara Kamajaya pernah ditugaskan oleh Sanghyang Manikmaya untuk menurunkan Wahyu Cakraningrat kepada Raden Abimanyu/Angkawijaya, putra Arjuna dengan Dewi Sumbadra, sebagai pasangan Wahyu Hidayat yang diturunkan oleh Dewi Ratih kepada Dewi Utari, putri Prabu Matswapati, raja negara Wirata. Bathara Kamajaya sangat sayang kepada Arjuna, dan selalu membantu serta melindunginya bila Arjuna menghadapi suatu permasalahan dan marabahaya.

Sebagai makhluk yang berwujud "akyan" hidup Bathara Kamajaya bersifat abadi.

6. BATARA NARADA

SANGHAYANG NARADA dikenal pula dengan nama Sanghyang Kanwakaputra atau Sanghyang Kanekaputra. Ia adalah putra sulung dari empat bersaudara putra Sanghyang Caturkanaka dengan Dewi Laksmi, yang berarti cucu Sanghyang Wening, adik Sanghyang Wenang. Tiga saudara kandungnya masing-masing bernama ; Sanghyang Pitanjala, Dewi Tiksnawati dan Sanghyang Caturwarna.

Sanghyang Narada sangat sakti dan pernah bertapa di atas permukaan air samudra sambil menggenggam Cupu Linggamanik. Karena kesaktiaannya melebihi Sanghyang Manikmaya, ia kemudian ditundukkan dengan Aji Kemayan, sehingga beralih rupa dan wujudnya menjadi pendek bulat dan berparas jelek. Sebagai imbalan, oleh Sanghyang Manikmaya, Sanghyang Narada diangkat menjadi tuwangga (= patih) di Suralaya dan dituakan oleh Sanghyang Manikmaya dengan sebutan "kakang/kakanda".

Sanghyang Narada sangat dipatuhi/disuyudi (Jawa) oleh siapa saja yang bergaul dengannya, karena keramahannya. Ia sangat alim, pandai dalam segala ilmu pengetahuan, periang, jujur, hatinya bening, pikirannya cerdas, senang bersenda-gurau, seorang prajurit dan pandita, sehingga mendapat julukan Resi.

Sanghyang Narada tinggal di kahyangan Siddi Udaludal atau Sudukpangudaludal (pedalangan Jawa) dan menikah dengan Dewi Wiyodi. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra, masing-masing bernama ; Dewi Kanekawati, yang kemudian dianugerahkan kepada Resi Seta, putra Prabu Matswapati, raja negara Wirata, dan Bathara Malangdewa.

7. BATARA BAYU

SANGHYANG BAYU disebut pula Hyang Pawaka (angin), Dewa yang melambangkan kekuatan. Ia putra ke-empat Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan permaisuri Dewi Umayi.

Sanghyang Bayu mempunyai lima orang saudara kandung masing - masing bernama; Sanghyang Sambo, Sanghyang Brahma, Sanghyang Indra, Sanghyang Wisnu dan Bhatara Kala. Ia juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, putra Dewi Umarakti, yaitu ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Sanghyang Bayu menurut wujudnya telah mencerminkan wataknya yang gagah berani, kuat, teguh santosa, bersahaja, pendiam dan dahsyat. Sanghyang Bayu bersemayam di Kahyangan Panglawung. Ia menikah dengan Dewi Sumi, putri Bathara Soma, dan berputra empat orang masing-masing bernama ; Bathara Sumarma, Bathara Sangkara, Bathara Sudarma dan Bathara Bismakara.

Menurut kitab Mahabharata, Sanghyang Bayu berputra pula dari Dewi Anjani, putri sulung Resi Gotama dari pertapaan Erriya/Grastina seorang anak berwujud kera putih yang diberi nama Maruti/Anoman. Sedangkan menurut pedalangan Jawa, Anoman merupakan putra Dewi Anjani dengan Bathara Guru/Sanghyang Manikmaya.

Sanghyang Bayu pernah turun ke Arcapada menjadi raja di negara Medanggora bernama Resi Boma.

8. BATARA YAMA

BATHARA YAMA dalam cerita pedalangan disebut dengan nama Bathara Yamadipati. Ia adalah anak ke delapan dari sepuluh orang putra Sanghyang Ismaya dengan Dewi Senggani. Kesembilan orang saudaranya masing-masing bernama; Bathara Wungkuam, Bathara Tambora, Bathara Wrahaspati, Bathara Siwah, Bathara Kuwera, Bathara Candra, Bathara Kamajaya, Bathara Surya dan Dewi Darmanesti.

Bathara Yama bertempat tinggal di Kahyangan Hargadumilah. Ia dahulunya berwajah tampan. Tetapi karena memendam rasa kekecewaan yang berkepanjangan dan akhirnya meledak menjadi kebencian, wajahnya berubah menjadi bengis menyeramkan sebagai akibat perbuatan Dewi Mumpuni, istrinya. Dewi Mumpuni hapsari Kaideran yang karena terpaksa menjadi istri Bathara Yama atas perintah Sanghyang Manikmaya, akhirnya kabur dari Kahyangan Hargadumilah setelah bertemu dengan Bambang Nagatmala, putra Hyang Anantaboga dengan Dewi Suprepti dari Kahyangan Saptapratala.

Bathara Yama tidak dapat berbuat apa-apa karena Sanghyang Manikmaya memutuskan, sesuai takdir Dewi Mumpuni harus berjodoh dengan Nagatmala. Karena menahan amarah, wajah Bathara Yama berubah menjadi setengah raksasa. Oleh Sanghyang Manikmaya, Bathara Yama kemudian ditetapkan sebagai penguasa neraka dan bertugas untuk mencabut nyawa manusia yang mati karena takdir.

9. BATARA KALA

BATHARA KALA adalah putra yang ke-enam/putra bungsu Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan Dewi Umayi. Ia satu - satunya yang berwujud raksasa dari ke-enam saudara kandungnya, karena ia tercipta dari "kama salah" Sanghyang Manikmaya yang jatuh ke dalam samodra dan menjelma menjadi bayi rakasasa. Ke-lima kakak kandungnya masing-masing bernama; Sanghyang Sambo, Sanghyang Brahma, Sanghyang Indra, Sanghyang Bayu dan Sanghyang Wisnu. Bathara Kala juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, putra Dewi Umakarti, yaitu ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Bathara Kala bertempat tinggal di Kahyangan Selamangumpeng. Ia menikah dengan Dewi Pramuni, ratu penguasa makhluk siluman yang berkahyangan di Setragandamayit. Dari perkawinan tersebut Bathara Kala memperoleh lima orang putra masing-masing bernama; Bathara Siwahjaya, Dewi Kalayuwati, Bathara Kalayuwana, Bathara Kalagotama dan Bathara Kartinea.

Bathara Kala sangat sakti sejak bayi. Ketika mengamuk di Suralaya, ia hanya bisa ditaklukan oleh Sanghyang Manikmaya dengan Aji Kemayan. Kedua taringnya dipotong, yang kanan menjadi keris Kalanadah dan yang kiri menjadi keris Kaladite. Selain Sanghyang Manikmaya, hanya Sanghyang Wisnu yang dapat mengalahkan Bathara Kala.

Meskipun sakti, Bathara Kala sangat dungu dan tak pernah mulai mengadakan persoalan ataupun peperangan. Ia kerap kali bertindak salah tetapi tidak disengaja, hanya kerena kebodohannya. Bathara Kala akan membela diri dan haknya apabila diserang atau dianiaya. Membunuh makhluk lain tidak untuk kesenangan, tetapi karena kebutuhan untuk membela kehidupan. Bathara kala lazim dipergunakan sebagai lambang keangkaramurkaan.

10. BATARA GANESA

BATHARA GANESA disebut pula dengan nama Bathara Gana. Ia dewa ilmu pengetahuan berwujud raksasa berkepala gajah. Bathara Ganesa adalah putra Bathara Guru/Sanghyang Manikmaya dengan Dewi Uma.

Ia lahir atas keinginan Bathara Guru yang menginginkan seorang putra yang ahli dalam hal mendidik. Hal ini karena Bathara Guru ingin menyadarkan Prabu Nilarudraka, raja raksasa dari negara Glugutinatar yang dengan pasukan gajahnya mengamuk di Suralaya agar keinginannya memperistri Dewi Garmayang dikabulkan Bathara Guru.Dewi Uma yang saat itu sedang mengandung, sangat terkejut dan lari ketakukan begitu melihat gajah Erawana, kendaran Bathra Indra, yang sangat luar biasa dalam bentuk dan wujudnya serta mempunyai kesan sangat mengerikan dan menakutkan.

Pengaruh ketakutan itu terwujud pada kelahiran putranya yang berwujud raksasa berkepala gajah. Anak tersebut kemudian diberi nama Bathara Ganesa.

Bathara Ganesa kemudian dibawa ke medan perang untuk dihadapkan dengan Prabu Nilarudraka. Dalam peperangan, Bathara Ganesa akhirnya dapat membunuh dan membinasakan Prabu Nilarudraka, sedangkan pasukan gajah Glugutinatar dapat dihancurkan pasukan gajah Suralaya dibawah pimpinan Batahra Indra yang menaiki gajah Erawana.

Dalam masa hidupnya, Bathara Ganesa bertugas memberi pelajaran ilmu pengetahuan kepada umat di Tribuana. Oleh karena itu ia diagung-agungkan sebagai lambang sumber segala ilmu.

11. BATARA SAMBO

SANGHYANG SAMBO atau Sambu adalah putra sulung Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan permaisuri pertama Dewi Umayi. Ia mempunyai lima orang saudara kandung masing-masing bernama ; Sanghyang Brahma, Sanghyang Indra, Sanghyang Bayu, Sanghyang Wisnu dan Bathara Kala. Sanghyang Sambo juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, yaitu putra Dewi Umarakti, masing-masing bernama ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Sanghyang Sambo bersemayam di kahyangan Swelagringging. Ia menikah dengan Dewi Hastuti, putri Sanghyang Darmastuti, cucu Sanghyang Tunggal dengan Dewi Darmani. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh empat orang putra masing-masing bernama ; Bathara Sambosa, Bathara Sambawa, Bathara Sambujana dan Bathara Sambodana.

Bathara Sambo memiliki sifat dan perwatakan ; jujur dan terpercaya, bertanggung jawab, dan cakap. Karena itu apabila ada masalah yang harus dirundingkan atau diselesaikan, Bathara Sambolah yang diminta menyelesaikannya. Ia sangat sakti, dan apabila bertiwikrama dari tubuhnya akan keluar prabawa hawa yang dapat menundukkan lawannya. Bathara Sambo pernah turun ke arcapada dan menjadi raja di negara Medangprawa bergelar Sri Maharaja Maldewa

12. BATARA ISMAYA

SANGHYANG ISMAYA (Semar) adalah putra kedua Sanghyang Tunggal dengan Dewi Wirandi/Rekatawati, putri Prabu Yuyut/Resi Rekatama, raja Samodralaya.

Ia mempunyai dua saudara kandung bernama Sanghyang Tejamaya/Sanghyang Antaga dan Sanghyang Manikmaya. Sanghyang Ismaya juga mempunyai tiga orang saudara kandung seayah lain ibu, putra Dewi Darmani, putri Sanghyang Darmayaka dari Selong, masing-masing bernama ; Sanghyang Rudra/Dewa Esa, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti.

Sanghyang Ismaya dikenal pula dengan nama Sanghyang Punggung (Purwakanda). Ia menikah dengan Dewi Senggani, putri Sanghyang Wening. Dari perkawinan tersebut ia mendapatkan 10 orang putra masing-masing bernama ; Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera, Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah, Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yama/Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastutri
Sanghyang Ismaya berwajah tampan.

Suatu ketika ia berkelahi dengan Sanghyang Tejamaya karena memperebutkan siapa yang tertua diantara mereka dan yang berhak menjadi raja Tribuana.

Akibatnya wajah mereka menjadi jelek. Oleh Sanghyang Tunggal mereka diberitahu, bahwa dahulu mereka lahir berwujud telor. Yang tertua Sanghyang Tejamaya (tercipta dari kulit telur, kemudian Sanghyang Ismaya (tercipta dari putih telur) dan Sanghyang Manikmaya yang tercipta dari kuning telur.

Karena kesalahannya itu, Sanghyang Ismaya dan Sangyang Tejamaya harus turun ke Marcapada. Sanghyang Tejamaya mendapat tugas memberi tuntunan para angkara dan berganti nama menjadi Togog.

13. BATARA ANTAGA

TOGOG dikenal pula dengan nama Tejamantri atau Catugora. Ia diyakini sebagai pengejawantahan dari Sanghyang Antaga/Tejamaya, putra sulung dari tiga bersaudara, putra Sanghyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati. Dua saudaraya yang lain adalah Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Manikmaya.

Karena melakukan suatu kesalahan, Sanghyang Antaga oleh ayahnya diperintahkan turun ke arcapada dengan tugas membina dan memberi tuntunan kepada golongan asura (golongan raksasa dan angkara). Ketika akan turun ke arcapada, Sanghyang Antaga meminta kepada Sanghyang Tuggal agar diberikan seorang kawan yang bisa mendjadi teman bertukar pikiran dan bercanda. Sanghyang Tanggal kemudian menyuruh Sanghyang Antaga mencari anak jin bernama Sarawita yang kala itu sedang bertapa di dasar samodra. Ketika menjumpa Sarawita, Sanghyang Antaga sangar terkejut karena anak jin itu bertapa dengan mulut terbuka lebar dan mulutnya penuh dengan binatang laut.

Sanghyang Antaga kemudian menghentikan tapa Sarawita dan memintanya untuk jadi pengikutnya. Sarawita yang merasa sakti menjadi marah apalagi ajakan Sanghyang Antaga sangat bertentangan dengan keinginannya yang ingin menguasai dunia. Mereka lalu mengadu kesaktian. Begiti kalah Sarawita lalu menyatakan kesediaannya menjadi pengkut Sanghyang Antaga dan bersedia jadi adik angkatnya. Mareka kemudian merubah wujudnya dan berganti nama, Sanghyang Antaga menjadi Togog dan Sarawita menjadi Bilung.

Togog digambarkan sebagai manusia bermata besar dan bermulut sangat lebar/luas mengkiaskan bahwa ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas, karena banyak hal yang diketahuinya.
Togog hidup sampai akhir jaman Purwa. Bahkan pada awal jaman Madya, tokoh Togog masih sering ditampilkan, namun sudah sangat tua.

14. BATARA ENDRA-INDRA


SANGHYANG INDRA adalah Dewa Keindahan yang memerintah dan menguasai bidadari / hapsari di Kahyangan Kainderan. Ia merupakan putra ketiga Sanghyang Manikmaya, raja Tribuana dengan permasuri Dewi Umayi. Sanghyang Indra mempunyai lima orang saudara kandung masing-masing bernama, Sanghyang Sambo, Sanghyang Brahma, Sanghyang Bayu, Sanghyang Wisnu dan Bathara Kala.

Ia juga mempunyai tiga orang saudara seayah lain ibu, putra Sanghyang Manikmaya dengan Dewi Umarakti yaitu ; Sanghyang Cakra, Sanghyang Mahadewa dan Sanghyang Asmara.

Sanghyang Indra sangat sakti. Apabila bertiwikrama mempunyai perbawa halilintar. Ia juga mempunyai kendaraan gajah yang sangat besar bernama Erawana. Sanghyang Indra mempunyai perwatakan ; pengasih, penyayang dan cinta kepada seni serta keindahan. Ia bertahta di Kahyangan Tinjamaya danmempunyai istri bernama Dewi Wiryati. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tujuh orang putra-putri masing-maising bernama : Dewi Tara, Dewi Tari, Bathara Citrarata, Bathara Citragama, Bathara Jayantaka, Bathara Jayantara dan Bathara Harjunawangsa.

Putri Sanghyang Indra, Dewi Tara dianugerahkan kepada Prabu Sugriwa, raja kera kerajaan Goa Kiskenda yang kemudian diambil Resi Subali dan mempunyai anak berujud wanara (manusia kera) bernama Anggada. Sedangkan Dewi Tari menjadi istri Prabu Dasamuka, raja raksasa kerajaan Alengka dan mempunyai anak bernama Indrajid atau Megananda.

Sanghyang Indra pernah menjadi raja di Arcapada di negara Medanggana bergelar Maharaja Sukra. Ia juga pernah berubah wujud menjadi brahmana tua bernama Resi Padya untuk membangunkan tapa Arjuna yang bergelar Bagawan Ciptaning di Goa Mintaraga, hutan Kaliasa gunung Indrakila.

JENISING TEMBUNG

JINISING TEMBUNG
  • Tembung Lingga
Miturut jinising tembung-tembung kabedakake dadi rong perangan, yakuwi tembung lingga (kata dasar) lan tembung kangwisowah saka linggane (kata jadian/bentukan). Tembung lingga yakuwi sakabehing tembung kang durung ngalami owah-owahan. Tuladhane: anak, jaran, rob, banjir, lsp.
Miturut para ahli basa, tembung lingga sinebut kata asal utzwz tembung kang durung ngalami owah-owahan, lan sabenere dumadi saka tembung sing luwih dhisik ana utawa tembung-tembung kang luwih tuwa. Tembung tembung kuwi diarani tembung wod (akar kata).
Tembung wod suk, nurunake tembung lingga: pasuk, rasuk, rangsuk, susuk, dhesuk, isuk, lsp. Tembung wod pis, nurunake tembung lingga tipis, tapis, kempis, kempes, dhepis. Tembung wod lur, turunake tembung lingga dulur, ulur, sulur, pilur. Tembung wod wur, nurunake tembung lingga: uwur, siwur, kawur, mawur, sawur lsp.   
  • Tembung Owah
Tembung kang wis owah saka linggane kabedakake dadi telung perangan, yakuwi tembung andhahan, tembung kang dirangkep (kata ulang),lan tembung camboran  utawa wancahan (kata majemuk).
Tembung lingga tekuk, bisa diowahi dadi tembung-tembung ditekuk, panekuk, tinekuk, tekukan, tekuk-tekukan, lsp. Kabeh tembung kuwi diarani tembung andhahan. Dene cara-carane tembung lingga didadekake tembung andhahan kuwi ana pirang-pirang. Ing ngisor iki tuladhane.
  1. diwenehi ater-ater (awalan)
Jinising ater-ater: (n), (m), (ny), (ng) kang uga sinebut ater-ater hanuswara uatawa swara irung; tak-, kok-, di, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kapi-, lsp.
  1. diwenehi seselan (sisipan): -um-, -in-, -er-, -el-
  2. diberi panambang akhiran: -a, -I, -e, -an, -en, -ana, -ake, -na, -ne, –ku, -mu.
  • Rimbag Lingga Andhahan
Sayektine ana tembung-tembung kangwiskalebu tembung andhahan ananging isih dianggep tembung lingga, sebab tembung-tembung kuwi isi bisa diwenehi ater-ater, panambang, lan seselan kayadene tembung lingga.
Tuladhane: omah dadi lingga andhahane somah. Somah bisa dadi tembung andhahan maneh saka tembung sesomahan. Ubeng dadi lingga andhahan kubeng, kubeng isih bisa didadekake tembungkinubeng.
Tembung kang kalebu lingga andhahan yakuwi:
  1. Tembung lingga sing antuk ater-ater sa-, pa-, pi-, pra-, tar- (tra-), ka-.
Tuladha: sa     : sa- + iji            = siji
Sa- + olah      = solah
Pa      :  pa- + omah     = pomah
Pa-+ ro         = paro
Pi-        :  pi- + wulang   = piwulang
Pi- + ala         = piala
Pi- + andel     = piandel
Pi- + dana     = pidana
Pra       : pra- + kara      = prakara
Pra- + lambang= pralambang
Pra-+ jurit      = prajurit
Tar-(tra-): tar- + tamtu   = tartamtu
Tar- + buka   = tarbuka
Tar- + kadhang= tarkadhang
Ka-      :  ka- + ubeng    = kubeng
Ka- + wruh   = kawruh
Ka – + arsa   = karsa
Tembung-tembung lingga ing ndhuwur (kajaba ater-ater tra-/tar-) diarani tembung aran (kata benda)
  1. tembung lingga kang antuk ater-ater pan-, pany-, pam-, pang-
tuladhane:
pan- + tiyung     = pantiyung
pan- + colot       = pancolot
pan- + telung     = pantelung
Tembung lingga andhahan ing ndhuwur kalebu tembung kahanan/kaanan.
tembung lingga kang antuk seselan (-er-, -el-) sabenere sajinis, amarga bisa ganti-gumanti. Tuladha:krelip, klelip . dene tembung lingga kang antuk seselan –el-, -er-,  uga kalebu tembung kahanan/kaanan.
  • Rimbag  Bawae
Rimbag bawa ana telu: (1) bawa kapi, bawa kami, bawa kuma; (2) bawa ha; (3) bawa ma. Katelune diwedharake ing ngisor iki.
  1. Bawa kapi, bawa kamu, bawa kuma
Tuladha :
  • Fatimah ora wani metu amarga kamigilan ula welang.
  • Sing kumawani wewaler kapatrapan paukuman.
  • Pak Bei punika penggalihipun kapilare sanget.
Tembung: kamigilan (kami- + gila+ -an), kumawani (kuma- + wani), kapilare (kapi- + lare), diarani rimbag-nya bawa kami, kuma, lan kapi. Tembung-tembung kasebut kalebu tembung kaanan kang nerangake sipating manungsa. Dene tegese (nosi/arti) yakuwi:
  • Banget
Tuladha: kamigilan: banget ing gilane
Kamisesegen: banget sesegen
  • Kaya
Kapilare: sipati kaya lare/bocah banget
Kamituwa: pacake kayawistuwa
  • Anggepe kaya
Kumratu: anggepe kaya ratu-ratua
Kumlanang: anggepe kaya lanang-lananga.
  • Bawa Ha
Tuladha:
Suta pijer medhukun bae, nanging larane anake datan ana sudane
Ngati-ati srawung wong kang apangawak setan
Medhukun saka tembung linggga dhukun antukater-ater ma-. Apangawak saka tembung lingga pangawak antuk ater-ater a-.
Tembung-tembung kang antuk ater-ater a- utawa ma- rimbag-nya diarani bawa ha. Tegese (arti/nosi) rimbag bawa ha, yakuwi:
  • Nduweni
Tuladha: Anak turune abandha-abandhu (nduwena bandha-bandhu) , saengga uripe bisa mubra-mubru.
Ora sanak ora akadang (nduweni kadang) yen mati melu kelangan.
  • Manganggo
Tuladha: Sore-sore akemul (manganggo kemul) sarung.
  • Kaya sing sinebut ana tembung lingga
Tuladhane: Tandure wisakembang, asemi, awoh.
  • Bareng
Tuladhane: Bocah-bocah padha bungah atampa (barengnampa) dhuwit.
  • Bawa Ma
Bawa ma kuwi kedadeyan saka tembung lingga kang antuk seselan –um- papane ana samburine aksara purwa tembung. Tuladha: kenthus dadi k-(um)- enthus : kumenthus; kaki dadi k-(um)-aki: kumaki.
Tembung lingga kang antuk seselan –um-, tarkadhang ngalami owah-owahan ana aksara purwaning tembung. Tuladha:
  1. Tembung lingga kang akara purwaning tembung  nalikaning antuk seselan –um- gumanti k.tuladha: pati – umati  dadi mati; putung-umutung dadi mutung; panggang dadi kumanggang, pinter dadi kuminter
  2. purwaning tembung aksara gumati k. tuladha: wasis dadi kumasis; wareg dadi kumareg, waras dadi kumaras.
  3. purwaning tembung aksara b gumanti g. tuladha: bobor dadi gumobor, bagus dadi gumagus, banter dadi gumanter.
  4. purwaning tembung aksara ha menawa antuk seselan –um-, wiwitaning lungguh luluh. Tuladha: ulung dadi umudhun dicekak mudhun; ulur dadi umulur dicekak umulur.
Tegese (nosi/arti) tembung bawa ma:
  1. nduweni kaanan/sipat kaya kang sinebut ana ing tembung lingga. Tuladha: kuminter (nduweni sipat kaya pinter-pintera
  2. lagi nedheng-nedhenge. Tuladha: kumeruk (lagi nedheng-nedhenge dikeruk).
  3. Kaya uni utawa swara kang sinebut ana linggane. Tuladha: jumegur (swarana jegur); cumengkling (swarane cengkling) lsp.
  4. kaanan: turun-tumurun.
  • Rimbag Tembung Tanggap
Tembung lingga kang antuk ater-ater dak-, kok-, di-.  Gampangane diarani rimbag dak, rimbag ko, lan rimbag di.
ü      Dak + lingga diarani rimbag utama purusa
ü      Kok  + lingga diarani rimbag madyama purusa
ü      Di + lingga diarani rimbag pratama purusa
Tarkadhang   tembung lingga kajabawisantuk ater-ater tanggap uga antuk panambang –I utawa –ake, mulane miturut panambange kaperang dadi telu.
  1. tanggap wantah
Tegese tanggap kang tanpa panambang. Gawa: takgawa, dakgawa: rimbage tanggap tak wantah utawa tanggap utama purusa kriya wantah. Kokgawa/kogawa: rimbage tanggap ko wantah utawa tanggap madyama purusa kriya wantah. Digawa rimbage tanggap di wantah utawa tanggap pratama purusa kriya wantah.
  1. tanggap –I (kriya)
Tegese tanggap kang antuk panambang –i. tuladha: tulis –taktulisi: ribage tanggap tak –I kriya (tanggap utama purusa –I kriya).
  1. tanggap –ke (kriya)
  2. tanggap ka/na

B. PEPRINCENING JINISING TEMBUNG
Basa saja kaperang dadi 9 golongan tembung, yakuwi:
  1. tembung kriya (mlaku, tuku, adol, lsp.)
  2. tembung aran (omah, tikus, mrica, lsp.)
  3. tembung kaanan (kendel, abang, kuru, lsp.)
  4. tembung katrangan (prayoga, kira-kira, dumadakan, lsp.)
  5. tembung sesulih (kata ganti: aku, iki, iku)
  6. tembung wilangan ( siji, akeh, pirang-pirang, lsp.)
  7. tembung penggandheng/lantaran (ing, saka, menyang, lsp.)
  8. tembung panyambung (sumawana, suprandene, jalaran, lsp.)
  9. tembung panyeru (adhuh, wah)
  • Tembung Kriya
Kang sinebut tembung kriya yakuwi sakabehing tembung kang nyatakake solah bawa, tindak-tanduk utawa tumandang gawe. Ana sajroning ukara, tembung kriya biyasane nduweni fungsi wasesa.
Tuladha: Nurahma nangisGozy tiba.
                   J            W         J      W
Tembung nangis, tiba kuwi wasesa lan yen ditilik saka jinising tembung kalebu tembung kriya. Sanadyan amung kedadeyang saka jejer lan wasesa ukara ing ndhuwur kalebu ukara singwis komplit.
Dene tembung kriya sing isih mbutuhake tembung liyane amrih sampurnane diarani tembung kriya mawa lesan (kata kerja berobjek/transitif). Tuladhane tembung kriya sing kaya mangkono yakuwi: nabrak, nabok, menthung, adol, nyiram, ngetung, nagih, nuthuk, lsp.
Suwalike tembung nangis, ora perlu utawa ora mbutuhake tembung liyane       `
  • Tembung Aran
Nama sakabehing barang utawa apa wae kang dianggep barang diarani tembung aran. Miturut kalungguhaning tembung ana sajroning ukara tembung aran bisa kalebokake ana ing jejer utawa lesan. Tuladhane ing ngisor iki.
Adhiku nendhang bal
J             W       J
Tembung adhiku lan bal, diarani tembung aran.
Tembung aran kaperang dadi rong golongan, yakuwi:
  1. tembung aran kang maujud (kasad mata)
  2. tembung aran kang ora maujud (ora kasad mata): kasugihan, kapinteran, kaluwihan, lsp.
Pandhapuking tembung aran kaperanga dadi loro.
  1. tembung lingga
  2. tembung andhahan
Dene tembung andhahan kang kalebu tembung aran kadedayan kanthi cara-cara ing ngisor iki.
  • Rimbag lingga andhahan, kanthi cara menehi ater-ater: sa-, pa- pi-, pra-, ka-.
  • Kadhapuk kriya wacaka, wujude pe-tanduk
  • Kadhapuk rimbag wisesana, wujude (- + -an)
  • Kadhapuk rimbag dayawacaka, wujude (pa- + tanduk + -an)
  • Kadhapuk bawa wacaka, wujude (ka- + lingga+ -an)
  • Kadhapuk panambang –wan,-man, -wati.
  • Kadhapuk panambang –ku, -mu,-e
  • Kadhapuk kanthi cara rimbag rangkep
  • Kadhapuk dadi camboran lan wancahan
  • Tembung kaanan
Sakabehing tembung kang nyatakake kepriye kaanan/sipat maneka warna bab. Tuladha: kembangabang, omahe gedhe, bocah nakal, lsp. Tembung-tembung kang kalebu kaanan iki nduuweni owah-owahan tertemtu. Ing ngisor iki owah-owahaning tembung kaanan (ana kalane tembung tertemtu kalebu tembung kaanan ana kalane ora kalebu tembung kaanan)
  1. 1.      kalebu tembung kaanan/sipat
Tembung iki tetep digolongake tembung aran menawa papan panggonane ana samburine tembung aran. Tuladhane:
Budi angkara, watak sembrana, ula mandi, lsp.
  1. 2.      kalebu wasesa
Upamane: Omahe Sariman gedhe, klambiku suwek, Anake Pak Suta lara. Gedhe, suwek, larakalungguhane ana sajroning ukara  minangka wasesa, dene jinis tembunge minangka kriya silihan.
  1. 3.      kalebu katrangan, jinis tembunge diarani tembung katrangan.
Upamane: sariman mlaku alon-alon. Manuk mabur dhuwur.
Tembung alon-alon lan dhuwur nerangake wasesa, mulane kalebu katrangan. Dene jinis tembunge diarani tembung katrangan.
  1. 4.      kalebu tembung aran
ü                  diwenehi panambang –e
gedhe dadi gedhene
lega dadi legane
ü                  diwenehi tembung panggandheng (kata depan): kang/sing.
Ssing cilik lungguh ngarep, sing gedhe lungguh mburi.
Kang lena bakal ketiwasan.
ü                  menawa nduweni kaanan/sipating manungsa biyasane dadi sesulihe jenenge manungsa kuwi kanthi carra diwenehii tembung si.
Kaya si cebol nggayuh lintang.
ü                  diwenehi tembung Panggandheng/kata depan ana sangarepe.
Kanthi lega legawaning ati.
  • Tembung Katrangan
Gatekno ukara ing ngisor iki!
  1. 1.      Adhiku mangan themal-themil.
  2. 2.      Sarjono nangis senthuk-senthuk/ ndrenginging.
  3. 3.      Maling kuwi mlayu nggendring,
Tembung themal-themil, senthuk-senthuk/drenginging, nggendring, kuwi nyebutake cara-carane mangan, nangis, lan mlayu. Tembung-tembung kang nerangake wasesa utawa nerangake babagan liya kajaba tembung aran  kuwi diarani tembung katrangan.  Dene tembung kang nerangake tembung aran diarani tembung kaanan. Tembung katrangan sing kulina dianggo yakuwi:
1. tembung katrangan wektu/titi mangsa
2. tembung katrangan papan panggonan
3. tembung katrangan sing nyethakake dadi lan orane pakaryan
4. tembung katrangan kang nyethakake kahanan pakaryan.
Miturut wujude tembung ana kang arupa tembung lingga lan ana kang arupa tembung andhahan. Kang arupa tembung andhahan yakuwi:
    1. Diwenehi panambang –e: prayogane, maune, lumrahe, wangune, lsp.
    2. linggane dibaleni: ujug-ujug, durung-durung, suwe-suwe, kira-kira, lsp.
    3. Diwenehi ater-ater sa-/se- :  sakawit, sakala, sajeg jumbleg, lsp.
    4. Diwenehi ater-ater sa- lan panambang –e: sabisa-bisane, sakuwat-kuwate, sagedhe-gedhene, lsp.
  • Tembung Sesulih
Tembung kang dianggo nggenteni jeneng barang utawa manungsa, lan tembung kang nuduhake panggonan barang utawa manungsa diarani tembung sesulih/kata ganti. Peprincening tembung sesulih:
    1. Tembung sesulih kang mratelakake wong (kata ganti orang);
Tembung sesulih kang mratelakake wong iki kaperang dadi papat:
  • Tembung sesulih utama purusa (aku, kula, ingsun)
  • Tembung sesulih madyama purusa (panjenengan, ndika, kowe, sampeyan)
  • Tembung sesulih pratama purusa (dheweke, Man jae/jeneng wong)
  • Tembung milik (omahe, omahmu, omahku)
    1. Tembung sesulih kang mratelakake dununging barang/wong (kata ganti tunjuk);
    2. Tembung sesulih kang dadi tembung panggandheng (kata ganti hubung);
    3. Tembung sesulih minangka pitakon (kata ganti tanya);
    4. Tembung sesulih barang kang ora nggenah (kata ganti tak tentu);
Ing ngisor iki bab-bab kang magepokan klawan tembung sesulih.
  1. Tembung sesulih yen nerangake babagan barang dununge ana samburine barang kang diterangakke. Tuladha: bocah iki, omah kae, dhusun sampeyan.
  2. Ana sajroning ukara tembung sesulih bisa nduweni kalungguhan minangka jejer, wasesa, lesan, lan liyane.
    • Jejer: Iki durung disarujuki dening para warga. (komplite: Prakara iki).
    • Wasesa: Bocah kang koktakok-takokae dhek wingi iku kae ta?
    • Lesan: Tekan seprene aku durung ngreti kuwi (komplite bab kuwi).
  • Tembung Wilangan
Tembung wilangan kabedakake telung perangan, yakuwi:
  1. Tembung wilangan kang nyatakake gunggung (jumlah);
Tuladha:
Beras telung goni kae timbangen!
  1. Tembung wilangan kang nyatakake undha-usuk/tingkatan.
Anakku sing nomer loro aran Giselia.
  1. Tembung wilangan durung genah (ora ngerti gunggunge)
Tuladha: Aku mung nampabathi sethithik.
  • Tembung Panggandheng
Sakabehing tembung kang nggathukake tembung siji lan sijine diarani tembung panggandheng/tembung lantaran. Ana sajroning Basa Jawa wujuding tembung panggandheng yakuwi:
Ing             : Aku wis telung tahun manggon ing kutha.
Menyang   : Sore mau, kowe menyang ngendi?
Saka          : Bengi-bengi ngene iki kowe saka ngendi?
  • Tembung Panyambung
Sakabehing tembung kang bisa nyambung utawa nggathukake antaraning tembung siji lan sijine. Miturut wujude tembung panyambung kaperang dadi loro:
    1. tembung panyambung kang isih lingga : lan, saha, tuuwin, sebab, lsp.
    2. tembung panyambung kang awujud andhahan: luwih-luwih, apa maneh.
  • Tembung Panyeru
Tembung panyeru diarani uga tembang sabawa.
    1. Lho, digunakake ana sajroning ukara sing beda karo kanyatan (Lho, kok ngono, mbok ngene)
    2. Lha, digunakake ana sajroning ukara kang pas/cocok karo kang dikarepake (Lha, ngono kuwi aja kaya mau)
    3. Eman,  kanggo ukara kang nggelakake (Eman, bocah bagus kok patrape kaya ngono!)